WARTABANDUNG.COM, Rancasari – Sejumlah tokoh dan warga Cipamokolan, didampingi oleh Kuasa Hukum Prof. Anton Minardi & Partners, mendatangi kantor Lurah Cipamokolan pada Jumat, 11 Oktober 2024, untuk beraudiensi dengan Lurah Tito. Kedatangan ini bertujuan untuk mempertanyakan izin pembangunan Gereja Sang Hyang Hurip Santo Antonius yang dianggap tidak transparan dan tetap dilanjutkan meskipun warga sudah berkali-kali mengajukan keberatan.
Sebelumnya, pada 9 Oktober 2024, warga telah bertemu dengan Disciptabintar untuk membahas perizinan ini. Dalam pertemuan yang diterima oleh Sekretaris Disciptabintar, Rulli Subhanudin, disarankan agar warga kembali mengklarifikasi izin pembangunan kepada Lurah, mengingat ada indikasi manipulasi dan ketidaksesuaian prosedur.
Perwakilan warga, Asep S. Adjie, menyampaikan bahwa mereka tidak pernah memberikan persetujuan untuk pembangunan gereja tersebut. Menurutnya, dokumen yang disampaikan oleh pihak gereja hanyalah sosialisasi, bukan permintaan izin, dan banyak warga yang tidak benar-benar menyetujui pembangunan itu. Asep juga mengkritik Lurah Cipamokolan karena tidak melakukan verifikasi lapangan.
Camat Rancasari, Hamdani, turut menyebutkan bahwa seharusnya verifikasi dilakukan oleh Lurah. Warga merasa penjelasan dari pihak aparat tidak konsisten dan cenderung tidak memadai, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan verifikasi mandiri dan menemukan indikasi adanya manipulasi persetujuan warga.
Penolakan warga, yang sudah disampaikan baik secara lisan, tulisan, maupun melalui spanduk, tidak mendapat respons yang memadai. Surat penolakan dari 12 RW dan sejumlah tokoh masyarakat, yang dibuat pada 15 Desember 2023, juga diabaikan. Warga merasa jawaban Lurah Tito tidak memadai dan hanya melemparkan masalah ke tingkat yang lebih tinggi.
Prof. Anton Minardi menilai, bahwa pembangunan Gereja Santo Antonio ini cenderung cacat prosedur, cacat administrasi, tidak adanya sosialisasi kepada warga terdekat, tokoh masyarakat. Adapun, terkait dukungan dari warga, justru cenderung diiming-imingi, terindikasi adanya pemalsuan tanda tangan, manipulasi dalam penyampaian terkait perizinan, tidak ada dengar pendapat dengan masyarakat. “Bahkan, sampai terbitnya PBG pun, masyarakat kurang mengetahuinya, bahkan cenderung ditutup-tutupi,” ungkapnya.
“Pemberi izin tidak memiliki legal standing untuk mengeluarkan PBG, cacat prosedur dan cacat substansi, hingga perizinan harus segera dicabut!” tegas Prof. Anton Minardi. (Redaksi)